Kamis, 21 Desember 2017


BLUE ECONOMY 2014 ANTARA HARAPAN, IMPIAN ATAU KENYATAANKAH ????


Dalam Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB Rio+20 pada 13-22 Juni 2012 lalu di Rio de Janeiro, Brasil, dari Delegasi Pemerintah Indonesia mengenalkan gagasan Blue Economy atau Ekonomi Biru kepada dunia internasional, yaitu ekonomi nasional yang digerakkan oleh sector kelautan dan perikanan. Dalam sambutannya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa kelestarian sumber daya laut akan memastikan lebih banyak sumber pangan yang dapat diandalkan dan menjadi pendapatan bagi jutaan penduduk yang hidup disepanjang garis pantai. Walaupun mendapat sambutan dan apresiasi dari Negara-negara peserta forum tersebut, namun sebenarnya konsep blue economy masih sebatas wacana ke depan dan perlu kajian mendalam karena belum jelas bagaimana bentuk dan mekanismenya. 

Blue Economy memang telah diusulkan sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sector Kelautan dan Perikanan tahun 2013-2015. Prinsip-prinsip Blue Economy dianggap cocok untuk diterapkan di dalam pembangunan sector kelautan dan perikanan sehingga mampu meningkatkan nilai tambah (value added). Dan diharapkan dampaknya pada meningkatnya pendapatan industri dan para pelaku usaha kelautan dan perikanan dengan tidak merusak lingkungan. Namun, apakah Indonesia dengan segala karakteristiknya mampu mewujudkannya???Wallohualam…..
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertekad untuk menjadikan sector kelautan dan perikanan sebagai pondasi pembangunan nasional serta sebagai sumber ketahanan pangan. Dan proses percepatan serta perluasan pembangunan sector kelautan dan perikanan membutuhkan sentuhan dari prinsip-prinsip Blue Economy (ekonomi biru). Karena Blue Economy merupakan sebuah model bisnis yang mampu melipatgandakan pendapatan (revenue) dengan diikuti dampak multiplier effect seperti penyerapan tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah.

Pendekatan pembangunan berbasis ekonomi biru pada sector kelautan dan perikanan akan bersinergi dengan pelaksanaan triple track  strategi,  yaitu program prow-poor (pengentasan kemiskinan), prow-growth (pertumbuhan), pro-job (penyerapan tenaga kerja) dan pro-environment (melestarikan lingkungan). Guna lebih mendalami prinsip-prinsip ini dan memperkuat serta meningkatkan pemahaman mengenai konsep blue economy, pada 25 November 2012 lalu Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyelenggarakan kegiatan Fokus Group Discussion (FGD) di Jakarta. Dalam forum ini dihadirkan pembicara utama yaitu initiator sekaligus penulis buku tentang Blue Economy asal Belgia, Profesor Gunter Pauli yang merupakan sosok penulis sekaligus pelaku bisnis yang telah mendalami pengetahuan di bidang lingkungan hidup. Gunter, professor asal Belgia ini yang juga  Pendiri Zero Emmission  Research Initiative (ZER) menawarkan tiga poin penting di dalam konsep Blue Economy kepada Pemerintah Indonesia yaitu terkait kepedulian social (Social Inclusiveness),  Efisiensi Sumber Daya Alam, dan System produksi tanpa Menyisakan Limbah. Dan juga menyampaikan saran kepada Pemerintah Indonesia agar dapat melirik rumput laut untuk digunakan di dalam produksi tekstil, karena Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan rumput laut yang berlimpah sebagai bahan substansi pengganti kapas yang bersahabat dengan lingkungan. Karena didalam Buku yang berjudul Ekonomi Biru: 10 tahun – 100 inovasi – 100 juta pekerjaan  karya Gunter Pauli, dinyatakan juga bahwa akhir dari model Economy Biru yang akan menggeser masyarakat dari kelangkaan menuju kelimpahan dengan apa yang kita miliki (“with what we have”). Tentu ini merupakan sebuah tantangan besar karena untuk mewujudkannya membutuhkan penerapan teknologi tinggi yang inovatif dan tentunya berwawasan lingkungan. Pertanyaannya, apakah kita mampu dengan segala keterbatasan yang ada ????
Dalam siaran pers pada Senin, 26 November 2012 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengatakan, percepatan dan perluasan pembangunan sector kelautan dan perikanan membutuhkan sentuhan dari prinsip-prinsip Ekonomi Biru. Dan sebagai wujudnya KKP giat mengkaji dan menyempurnakan paradigma blue economy sebagai sebuah strategi pembangunan nasional berkelanjutan. Seiring dengan itu, KKP mendorong kalangan perguruan tinggi untuk bermitra dengan pemerintah dan swasta dalam mengembangkan inovasi, riset dan teknologi guna menguak peluang dan potensi di dalam kegiatan ekonomi berkelanjutan yang bertumpu pada sektor kelautan dan perikanan. Sebabnya, penerapan konsep blue economy membutuhkan dukungan pengetahuan dan teknologi (cutting-edge innovations) yang tidak hanya mampu memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, tetapi lebih nyata dalam menerapkan inovasi terkait sistem produksi bersih tanpa limbah.
Harapan, Impian ataukah Kenyataankah ??? 
Flash back pada tahun 2012 lalu, pada satu sisi penulis mengapresiasi penuh suatu teknologi inovatif metode penangkapan ikan yang ditawarkan oleh Prof Gunter Pauli dalam sebuah acara dialog di Metro TV yang berjudul: “Blue Economy dalam Membangun Kelautan dan Perikanan yang Berkelanjutan Menuju Sejahtera” pada 6 Desember 2012 lalu. Dimana metode penangkapan ikan konvensional yang selama ini dijalankan oleh nelayan-nelayan kita, sudah saatnya untuk ditinggalkan dan beralih kepada metode penangkapan ikan dengan menggunakan gelembung-gelembung udara seperti halnya ikan paus pembunuh (killer whale) menangkap ikan-ikan kecil atau anjing laut sebagai mangsanya. Selanjutnya hasil tangkapan ini akan diproses langsung dalam kapal yang memiliki fasilitas seperti pabrik pengolahan di darat, sehingga ikan dapat langsung diproses tanpa mengalami proses pembusukan dan kehilangan nutrisi-nutrisi penting yang terkandung didalamnya seperti Omega 3. Dengan harapan tentunya nelayan kita pada saat mendarat, akan membawa hasilnya berupa produk jadi siap makan yang tentunya bernilai jual lebih tinggi. 
Namun pada sisi yang lain, tanpa bermaksud bersikap apriori (antipati) terhadap kemajuan teknologi, penulis ada sedikit terpingkal rasanya mendengar gagasan tersebut. Apakah mungkin nelayan-nelayan kita yang notabene nelayan kecil yang masuk dalam kategori “kelas teri” dengan tingkat pendidikan yang rendah bahkan banyak yang tidak mengenal samasekali bangku sekolah mampu mengaplikasikan teknologi canggih seperti itu. Dan tentunya sudah bisa kita ukur juga, berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk mendapatkan teknologi tersebut. Sementara sudah menjadi rahasia umum, dalam kehidupan sehari-harinya nelayan-nelayan kita masih termasuk dalam kategori “miskin”  sehari-harinya masih pusing memikirkan untuk makan tiap harinya. Belum juga masih harus dan masih banyak yang berkutat pada permasalahan sulitnya mendapat pasokan BBM (Bahan Bakar Minyak) solar, terlilit utang pada tengkulak yang mencekik leher dengan bunga tinggi, tidak mampu membayar sewa kapal kepada bandar, keterbatasan modal, keterbatasan sarana alat tangkap, bertambah jauhnya wilayah penangkapan ikan (fishing ground) akibat over fishing, persaingan dengan nelayan asing yang melakukan illegal fishing dengan peralatan dan teknologi yang lebih modern tentunya dan lain sebagainya dan itu belum ditambah dengan permasalahan-permasalahan keluarga/pribadi yang lainnya. 
Sangat mungkin dan masuk nalar serta masih bisa bermanfaat, jika teknologi ini diaplikasikan untuk nelayan-nelayan negara maju yang memiliki industri-industri penangkapan dan pengolahan ikan yang modern dengan sumber daya manusia yang mumpuni dan berotak cemerlang tentunya. Mungkinkah mampu untuk Indonesia???
Disinilah pusat-pusat pendidikan ilmu pengetahuan sebagai sumber inovasi dan inspirasi (center of excellence) berperan sangat penting dalam memperluas dan memperdalam riset dalam mengembangkan paradigma blue economy. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang penting bagi kemajuan bangsa, sehingga pengembangan dan pengkayaan ilmu pengetahuan perlu mengadopsi cara pandang baru yakni, education for sustainable development within blue economy
Tentunya akan lebih kuat lagi peran inovasi dan teknologi ini jika didukung juga peran dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan untuk menjadikan sustainable development yang terkandung di dalam paradigma blue economy menjadi orientasi baru didalam pembangunan kapasitas sumber daya manusia terutama dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Tak lepas dalam konsep ini peran penyuluh perikanan yang memiliki fungsi pendampingan dan edukasi para pelaku usaha. Dan permasalahan dimana masih kurangnya jumlah tenaga penyuluh perikanan akan segera dijawab KKP dengan menargetkan penambahan jumlah 8000 penyuluh perikanan sekarang ini menjadi  12.189 orang penyuluh perikanan dari seluruh Indonesia (sumber : Simluh KP) pada tahun 2014 untuk lebih mampu mendukung Program Pembangunan Industrialisasi Kelautan dan Perikanan Indonesia yang berbasis blue economy


Bukti riil dan konkrit kepedulian Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan terhadap Blue Economy pada tahun 2014 ini terwujud dengan adanya acara FAO Town Hall Meeting di FAO Roma dengan Topik BLUE GROWTH yang diselenggarakan Kamis, 8 Mei, 2014 lalu. Selain diikuti oleh seluruh Staff FAO Rome, juga oleh Staff FAO di Perwakilan Perwakilan FAO di Seluruh Dunia melalui Live Video Streaming. Tampil sebagai panelis dalam kegiatan yang memanfaatkan teknologi Video Conference ini adalah : FAO-Rome, FAO-Budapest, FAO-Nairobi, FAO-Cairo, FAO-Bangkok dan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI-Jakarta.

Pemaparan Dr.Suseno, Dirjen BPSDMKP-KKP, tentang Blue Economy Implementation in Lombok Island, via Video Conference dari KKP-Gambir, Jakarta memukau perhatian peserta Pertemuan, sekaligus menegaskan sekali lagi kita patut berbangga hati bahwa Indonesia adalah perintis penerapan Blue Economy / Blue Growth di Dunia. Dan yang lebih menggembirakan kegiatan Town Hall Meeting on BLUE GROWTH ini mendapat perhatian khusus dan serius dari Sekjen PBB, Ban Ki Moon yang pada waktu bersamaan tengah mengadakan lawatan di Roma.


Beberapa Proyek Indonesia-FAO yang ditampilkan oleh Para Panelis dalam Blue Growth Presentation, antara lain : Lombok Island Project, Rice-Fish Project (MINA-PADI), Mangroves Project, Nyale Festival – Globally Important Agricultural Heritage System (GIAHS) Project dan Wetting the Peatland Project sudah mampu menunjukkan konsistensi Pemerintah Indonesia terhadap Blue Economy.

Setelah saat ini mengambil Posisi sebagai 10 Besar Kekuatan Ekonomi Dunia, sesuai hasil Kajian Terakhir Bank Dunia, maka Indonesia juga mulai tampil mewarnai pembangunan kelautan dan perikanan di dunia salah satunya melalui kebijakan Blue Economy. Dimana diharapkan semoga program blue-economy di Indonesia sukses dan lancar.


Dengan satu harapan tentunya di tahun 2014 ini, semoga konsep Blue Economy akan lebih tidak hanya sekedar wacana serta konsep yang bersifat simbol semata atau slogan mercusuar yang tidak membumi. Sehingga mampu berdampak riil dan signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat khususnya nelayan. Karena hanya kita sendiri yang mampu menjawabnya !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar