BLUE ECONOMY 2014 ANTARA HARAPAN, IMPIAN ATAU KENYATAANKAH ????
Dalam
Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB Rio+20 pada 13-22 Juni 2012 lalu di
Rio de Janeiro, Brasil, dari Delegasi Pemerintah Indonesia mengenalkan gagasan
Blue Economy atau Ekonomi Biru kepada dunia internasional, yaitu ekonomi
nasional yang digerakkan oleh sector kelautan dan perikanan. Dalam sambutannya,
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa kelestarian sumber daya
laut akan memastikan lebih banyak sumber pangan yang dapat diandalkan dan
menjadi pendapatan bagi jutaan penduduk yang hidup disepanjang garis pantai.
Walaupun mendapat sambutan dan apresiasi dari Negara-negara peserta forum
tersebut, namun sebenarnya konsep blue economy masih sebatas wacana ke depan
dan perlu kajian mendalam karena belum jelas bagaimana bentuk dan mekanismenya.
Blue
Economy memang telah diusulkan sebagai Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) sector Kelautan dan Perikanan tahun 2013-2015. Prinsip-prinsip
Blue Economy dianggap cocok untuk diterapkan di dalam pembangunan sector
kelautan dan perikanan sehingga mampu meningkatkan nilai tambah (value added). Dan
diharapkan dampaknya pada meningkatnya pendapatan industri dan para pelaku
usaha kelautan dan perikanan dengan tidak merusak lingkungan. Namun, apakah
Indonesia dengan segala karakteristiknya mampu mewujudkannya???Wallohualam…..
Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) bertekad untuk menjadikan sector kelautan dan perikanan sebagai pondasi pembangunan
nasional serta sebagai sumber ketahanan pangan. Dan proses percepatan serta
perluasan pembangunan sector kelautan dan perikanan membutuhkan sentuhan dari
prinsip-prinsip Blue Economy (ekonomi biru). Karena Blue Economy merupakan sebuah model bisnis
yang mampu melipatgandakan pendapatan (revenue) dengan diikuti dampak multiplier effect seperti penyerapan
tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah.
Pendekatan pembangunan berbasis ekonomi
biru pada sector kelautan dan perikanan akan bersinergi dengan pelaksanaan triple track
strategi, yaitu program prow-poor (pengentasan kemiskinan), prow-growth (pertumbuhan), pro-job (penyerapan tenaga kerja) dan pro-environment (melestarikan
lingkungan). Guna lebih mendalami prinsip-prinsip ini dan memperkuat serta
meningkatkan pemahaman mengenai konsep blue
economy, pada 25 November 2012 lalu Kementerian Kelautan dan Perikanan
telah menyelenggarakan kegiatan Fokus
Group Discussion (FGD) di Jakarta. Dalam
forum ini dihadirkan pembicara utama yaitu initiator sekaligus penulis buku
tentang Blue Economy asal Belgia, Profesor Gunter Pauli yang merupakan sosok
penulis sekaligus pelaku bisnis yang telah mendalami pengetahuan di bidang
lingkungan hidup. Gunter, professor asal Belgia ini yang juga Pendiri Zero
Emmission Research Initiative (ZER)
menawarkan tiga poin penting di dalam konsep Blue Economy kepada Pemerintah Indonesia yaitu terkait kepedulian social (Social Inclusiveness), Efisiensi Sumber Daya Alam, dan System
produksi tanpa Menyisakan Limbah. Dan juga menyampaikan saran kepada
Pemerintah Indonesia agar dapat melirik rumput
laut untuk digunakan di dalam produksi tekstil, karena Indonesia memiliki
potensi besar untuk mengembangkan rumput laut yang berlimpah sebagai bahan
substansi pengganti kapas yang bersahabat dengan lingkungan. Karena didalam
Buku yang berjudul Ekonomi Biru: 10 tahun – 100 inovasi – 100 juta pekerjaan karya Gunter Pauli, dinyatakan juga bahwa
akhir dari model Economy Biru yang
akan menggeser masyarakat dari kelangkaan menuju kelimpahan dengan apa yang
kita miliki (“with what we have”). Tentu
ini merupakan sebuah tantangan besar karena untuk mewujudkannya membutuhkan
penerapan teknologi tinggi yang inovatif dan tentunya berwawasan lingkungan. Pertanyaannya, apakah kita mampu dengan segala keterbatasan yang ada
????
Dalam siaran pers pada Senin, 26
November 2012 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo
mengatakan, percepatan dan perluasan pembangunan sector kelautan dan perikanan
membutuhkan sentuhan dari prinsip-prinsip Ekonomi Biru. Dan sebagai wujudnya KKP
giat mengkaji dan menyempurnakan paradigma blue
economy sebagai sebuah strategi pembangunan nasional berkelanjutan. Seiring
dengan itu, KKP mendorong kalangan perguruan tinggi untuk bermitra dengan
pemerintah dan swasta dalam mengembangkan inovasi, riset dan teknologi guna
menguak peluang dan potensi di dalam kegiatan ekonomi berkelanjutan yang
bertumpu pada sektor kelautan dan perikanan. Sebabnya, penerapan konsep blue economy membutuhkan dukungan
pengetahuan dan teknologi (cutting-edge innovations) yang tidak hanya mampu
memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, tetapi lebih nyata dalam
menerapkan inovasi terkait sistem produksi bersih tanpa limbah.
Harapan,
Impian ataukah Kenyataankah ???
Flash back pada tahun 2012 lalu, pada
satu sisi penulis mengapresiasi penuh suatu teknologi inovatif metode
penangkapan ikan yang ditawarkan oleh Prof
Gunter Pauli dalam sebuah acara dialog di Metro TV yang berjudul: “Blue Economy dalam Membangun Kelautan dan
Perikanan yang Berkelanjutan Menuju Sejahtera” pada 6 Desember 2012 lalu.
Dimana metode penangkapan ikan konvensional yang selama ini dijalankan oleh
nelayan-nelayan kita, sudah saatnya untuk ditinggalkan dan beralih kepada
metode penangkapan ikan dengan menggunakan gelembung-gelembung udara seperti
halnya ikan paus pembunuh (killer whale) menangkap ikan-ikan kecil atau anjing
laut sebagai mangsanya. Selanjutnya hasil tangkapan ini akan diproses langsung
dalam kapal yang memiliki fasilitas seperti pabrik pengolahan di darat,
sehingga ikan dapat langsung diproses tanpa mengalami proses pembusukan dan
kehilangan nutrisi-nutrisi penting yang terkandung didalamnya seperti Omega 3. Dengan
harapan tentunya nelayan kita pada saat mendarat, akan membawa hasilnya berupa
produk jadi siap makan yang tentunya bernilai jual lebih tinggi.
Namun pada sisi yang lain, tanpa
bermaksud bersikap apriori (antipati) terhadap kemajuan teknologi, penulis ada
sedikit terpingkal rasanya mendengar gagasan tersebut. Apakah mungkin
nelayan-nelayan kita yang notabene nelayan kecil yang masuk dalam kategori “kelas teri” dengan tingkat pendidikan
yang rendah bahkan banyak yang tidak mengenal samasekali bangku sekolah mampu
mengaplikasikan teknologi canggih seperti itu. Dan tentunya sudah bisa kita
ukur juga, berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk mendapatkan teknologi
tersebut. Sementara sudah menjadi rahasia umum, dalam kehidupan sehari-harinya
nelayan-nelayan kita masih termasuk dalam kategori “miskin” sehari-harinya
masih pusing memikirkan untuk makan tiap harinya. Belum juga masih harus dan
masih banyak yang berkutat pada permasalahan sulitnya mendapat pasokan BBM
(Bahan Bakar Minyak) solar, terlilit utang pada tengkulak yang mencekik leher
dengan bunga tinggi, tidak mampu membayar sewa kapal kepada bandar,
keterbatasan modal, keterbatasan sarana alat tangkap, bertambah jauhnya wilayah
penangkapan ikan (fishing ground)
akibat over fishing, persaingan
dengan nelayan asing yang melakukan illegal
fishing dengan peralatan dan teknologi yang lebih modern tentunya dan lain
sebagainya dan itu belum ditambah dengan permasalahan-permasalahan
keluarga/pribadi yang lainnya.
Sangat mungkin dan masuk nalar serta
masih bisa bermanfaat, jika teknologi ini diaplikasikan untuk nelayan-nelayan
negara maju yang memiliki industri-industri penangkapan dan pengolahan ikan
yang modern dengan sumber daya manusia yang mumpuni dan berotak cemerlang
tentunya. Mungkinkah mampu untuk Indonesia???
Disinilah pusat-pusat pendidikan ilmu
pengetahuan sebagai sumber inovasi dan inspirasi (center of excellence) berperan sangat penting dalam memperluas dan
memperdalam riset dalam mengembangkan paradigma blue economy. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal
yang penting bagi kemajuan bangsa, sehingga pengembangan dan pengkayaan ilmu
pengetahuan perlu mengadopsi cara pandang baru yakni, education for sustainable development within blue economy.
Tentunya akan lebih kuat lagi peran
inovasi dan teknologi ini jika didukung juga peran dari seluruh pemangku
kepentingan pendidikan untuk menjadikan sustainable
development yang terkandung di dalam paradigma blue economy menjadi orientasi baru didalam pembangunan kapasitas
sumber daya manusia terutama dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Tak
lepas dalam konsep ini peran penyuluh perikanan yang memiliki fungsi
pendampingan dan edukasi para pelaku usaha. Dan permasalahan dimana masih
kurangnya jumlah tenaga penyuluh perikanan akan segera dijawab KKP dengan
menargetkan penambahan jumlah 8000 penyuluh perikanan sekarang ini menjadi 12.189 orang
penyuluh perikanan dari seluruh Indonesia (sumber : Simluh KP) pada tahun 2014 untuk lebih mampu mendukung Program Pembangunan Industrialisasi
Kelautan dan Perikanan Indonesia yang berbasis blue economy
Bukti riil dan
konkrit kepedulian Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kelautan dan
Perikanan terhadap Blue Economy pada tahun 2014 ini terwujud dengan adanya acara
FAO Town Hall Meeting di FAO Roma
dengan Topik BLUE GROWTH yang diselenggarakan Kamis, 8 Mei, 2014 lalu. Selain
diikuti oleh seluruh Staff FAO Rome, juga oleh Staff FAO di Perwakilan
Perwakilan FAO di Seluruh Dunia melalui Live Video Streaming. Tampil sebagai
panelis dalam kegiatan yang memanfaatkan teknologi Video Conference ini adalah :
FAO-Rome, FAO-Budapest, FAO-Nairobi, FAO-Cairo, FAO-Bangkok dan Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI-Jakarta.
Pemaparan Dr.Suseno,
Dirjen BPSDMKP-KKP, tentang Blue
Economy Implementation in Lombok Island, via Video Conference
dari KKP-Gambir, Jakarta memukau perhatian peserta Pertemuan, sekaligus
menegaskan sekali lagi kita patut berbangga hati bahwa Indonesia adalah
perintis penerapan Blue Economy / Blue Growth di Dunia. Dan yang lebih
menggembirakan kegiatan Town Hall Meeting on BLUE GROWTH ini mendapat perhatian
khusus dan serius dari Sekjen PBB, Ban Ki Moon yang pada waktu bersamaan tengah
mengadakan lawatan di Roma.
Beberapa Proyek
Indonesia-FAO yang ditampilkan oleh Para Panelis dalam Blue Growth
Presentation, antara lain : Lombok Island Project, Rice-Fish Project
(MINA-PADI), Mangroves Project, Nyale Festival – Globally Important
Agricultural Heritage System (GIAHS) Project dan Wetting the Peatland Project
sudah mampu menunjukkan konsistensi Pemerintah Indonesia terhadap Blue Economy.
Setelah saat ini
mengambil Posisi sebagai 10 Besar Kekuatan Ekonomi Dunia, sesuai hasil Kajian
Terakhir Bank Dunia, maka Indonesia juga mulai tampil mewarnai pembangunan
kelautan dan perikanan di dunia salah satunya melalui kebijakan Blue Economy.
Dimana diharapkan semoga program blue-economy di Indonesia sukses dan lancar.
Dengan satu harapan tentunya di tahun 2014 ini, semoga konsep Blue Economy akan lebih tidak hanya sekedar wacana serta konsep yang bersifat simbol semata atau slogan mercusuar yang tidak membumi. Sehingga mampu berdampak riil dan signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat khususnya nelayan. Karena hanya kita sendiri yang mampu menjawabnya !!!
Dengan satu harapan tentunya di tahun 2014 ini, semoga konsep Blue Economy akan lebih tidak hanya sekedar wacana serta konsep yang bersifat simbol semata atau slogan mercusuar yang tidak membumi. Sehingga mampu berdampak riil dan signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat khususnya nelayan. Karena hanya kita sendiri yang mampu menjawabnya !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar